memasuki dunia baru sudah pasti berarti berkenalan dengan teman baru, beradaptasi dengan kebiasaan baru, dan juga merancang tujuan-tujuan baru. namun, ini semua bukan hanya soal bagaimana memberikan citra yang baru atau bagaimana cara menghilangkan kebiasaan buruk yang selama ini tak kunjung hilang meskipun sudah tahun baru berkali-kali.
Ini tentang mereka yang dulu sudah bersamaku sejak awal dan bagaimana Bandung memisahkan kami. tidak hanya itu, ini juga tentang aku dan upayaku yang bisa dibilang..... buruk. sangat buruk.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Awalnya kupikir jarak sekitar 378 km ini tidak akan begitu berpengaruh terhadap komunikasiku dengan kerabat dan sahabat di rumah toh sudah ada teknologi bernama handphone dan juga aplikasi bernama line dan whatsapp. awalnya memang benar. namun semakin kesini kurasa semakin sulit. kampus tempatku menambang ilmu ini sungguh luar biasa, benar-benar luar biasa. ilmu-ilmu masa depan, teknologi dan sains, mengalir dari pukul tujuh hingga tiga sore. tak jarang sampai lima bahkan enam sore.
hampir tiap hari ibu menelpon. tiap saat bisa di bilang. syukurlah aku hampir selalu mengangkatnya. Bapak juga selalu chat lewat whatsapp dan aku juga selalu bisa membalas. Permasalahan disini ada di kakakku dan adikku. kami semua sedang berada dikesibukkan masing-masing. sama-sama sedang mencari jati diri menuju impian masing-masing. fase dimana teman dan relasi jauh lebih menjadi prioritas dibandingkan keluarga sendiri. intensitas mengobrolku dengan mereka jauh berbeda dibandingkan dengan ayah dan ibuku yang hampir tiap hari, selayaknya makan, pagi-siang-malam.
Dulu juga aku selalu merasa terganggu dengan PR-PR matematika adikku yang enggan ia kerjakan sendiri. alasannya, "dado ini nggak ngerti apa-apa loh mba" yang selalu kujawab dengan, "makanya kalo di kelas itu perhatiin. kalo les sama om fajar itu jangan suka ngelibur." namun tetap kukerjakan dengan berat hati karena teringat berapa jumlah bab pelajaran kimia yang dulu harus kukejar mati-matian atau mungkin teringat berapa banyak novel yang nangkring di dalam lemari meminta untuk segera dibaca sampai habis. rasanya muak sekali mengingat bagaimana dulu aku begitu egois. namun, lagi-lagi jarak membuatku menghargai setiap momen kecil bersama adikku yang dulu kupikir tidak penting. persetan dengan kuis, uts, praktikum, maupun uas, jika adikku mengirimkan soal matematika yang katanya super sulit itu, akan langsung aku kerjakan.
mengingat intensitas "kabur" yang cukup sering saat sesi curhat-dan-bertukar-cerita ini berlangsung, di suatu kesempatan aku menelfon mereka (tentunya saat handphone kesayanganku itu hidup ya) dan menjelaskan alasanku dengan sejujur-jujurnya dan juga mengeluh mengenai diriku yang cukup keteteran dalam hal menejemen waktu antara akademik dan sosial (termasuk me-maintance komunikasi dengan mereka). beruntungnya mereka mengerti dan tidak pernah balas "tidak merespon" ketika aku bercerita mengenai nilai kuisku yang super parah, tentang kelompok praktikumku, tentang percakapan dengan manusia-manusia jenius penghuni kampusku yang ternyata punya pembicaraan yang cukup menghangatkan dibanding rumus-rumus semata, maupun tentang keluhanku akan sambal di bandung yang rasanya manis bukan pedas.
hampir tiap hari ibu menelpon. tiap saat bisa di bilang. syukurlah aku hampir selalu mengangkatnya. Bapak juga selalu chat lewat whatsapp dan aku juga selalu bisa membalas. Permasalahan disini ada di kakakku dan adikku. kami semua sedang berada dikesibukkan masing-masing. sama-sama sedang mencari jati diri menuju impian masing-masing. fase dimana teman dan relasi jauh lebih menjadi prioritas dibandingkan keluarga sendiri. intensitas mengobrolku dengan mereka jauh berbeda dibandingkan dengan ayah dan ibuku yang hampir tiap hari, selayaknya makan, pagi-siang-malam.
aku
dengan amat sangat menyadari bahwa letak kesalahan ada pada diriku.
setiap aku menelfon ibu atau bapak, aku lupa meminta bicara dengan adik
dan kakakku. pernah di beberapa malam bapak bilang adikku menangis
karena rindu. padahal kalau diingat-ingat siapa yang menangis paling
keras saat aku berangkat ke bandung, jawabannya ya mereka berdua. terkadang aku ingin mengutuk
diriku sendiri yang kurang bisa membagi waktuku dan malah memilih
menghabiskan waktu bermenit-menit didepan youtube atau instagram
dibandingkan berinteraksi dengan adik dan kakakku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kalau dipikir-pikir, kebiasaan kecil nan menjengkelkan lah yang menolong
komunikasiku dengan mereka saat ini. aku masih ingat dengan jelas
bagaimana menjengkelkannya kakakku dulu di rumah setiap ia meminta tolong untuk
"editin foto" "kasih filter yang bagus dong" atau "gabungin si empat
foto ini jadi satu". sekarang ia masih rutin mengirim foto-fotonya. tak jarang ia juga menanyakan apakah feed instagramnya sudah cukup 'good looking' atau sekedar bertanya, "yang mana nih yang harus gue apus?!" "foto yang ini worth it ga?" yang harus kuakui tetap menjengkelkan tapi juga bikin kangen.
Dulu juga aku selalu merasa terganggu dengan PR-PR matematika adikku yang enggan ia kerjakan sendiri. alasannya, "dado ini nggak ngerti apa-apa loh mba" yang selalu kujawab dengan, "makanya kalo di kelas itu perhatiin. kalo les sama om fajar itu jangan suka ngelibur." namun tetap kukerjakan dengan berat hati karena teringat berapa jumlah bab pelajaran kimia yang dulu harus kukejar mati-matian atau mungkin teringat berapa banyak novel yang nangkring di dalam lemari meminta untuk segera dibaca sampai habis. rasanya muak sekali mengingat bagaimana dulu aku begitu egois. namun, lagi-lagi jarak membuatku menghargai setiap momen kecil bersama adikku yang dulu kupikir tidak penting. persetan dengan kuis, uts, praktikum, maupun uas, jika adikku mengirimkan soal matematika yang katanya super sulit itu, akan langsung aku kerjakan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hal yang sama juga terjadi antara aku dan sahabat-sahabatku. Kalau dulu saat SMP aku dikenal sebagai wiranty yang sangat ramah, nggak sipek, dan selalu membalas dengan emotikon-emotikon lucu seperti :p :3 ({}) maka aku yang sekarang ini sudah sangat jauh dari fakta tersebut. kalau dulu aku dikenal sebagai wiranty yang selalu membalas chat seseorang, maka sekarang aku sudah berubah julukan menjadi wiranty yang selalu nyekip orang, lol. tidak hanya itu, aku juga telah berubah menjadi wiranty yang nggak ngerti info apa-apa dikarenakan jarang buka grup terutama grup besar fakultas.
Ada beberapa alasan mengapa hal-hal diatas bisa terjadi padaku dan setelah kutelaah faktor utamanya adalah handphoneku yang baterainya sudah jebol ini. hampir setiap sesi curhat-dan-bertukar-cerita dengan teman-temanku, aku selalu memutus percakapan dengan mengirimkan pesan seperti, "woy batre gue 1% kalo tiba-tiba nggak respond sorry ya" yang kemudian diikuti oleh gelapnya layar handphoneku beberapa menit setelahnya.
mempunyai kepribadian yang super mager (malas gerak) dan mempunyai handphone sialan yang mudah sekali kehabisan daya ini merupakan kombinasi yang luar biasa. luar biasa mengganggu komunikasiku terutama saat sesi curhat seperti yang aku bilang di atas. ohiya, tidak hanya itu, insting randomku juga turut menghambat komunikasiku. Insting absurd (yang terkadang juga terdengar logis) seperti, "ah hape gue mati mungkin gue disuruh Allah nugas dulu." atau, "ahelah hape gue mati, yaudah lah mungkin gue disuruh Allah beresin kosan dulu." "ah hape gue mati. oh mungkin gue disuruh Allah nyikat wc dulu." dan masih banyak lagi kalimat-kalimat serupa yang kemudian berakibat dengan mangkatnya niat untuk ngecharge handphone.
mengingat intensitas "kabur" yang cukup sering saat sesi curhat-dan-bertukar-cerita ini berlangsung, di suatu kesempatan aku menelfon mereka (tentunya saat handphone kesayanganku itu hidup ya) dan menjelaskan alasanku dengan sejujur-jujurnya dan juga mengeluh mengenai diriku yang cukup keteteran dalam hal menejemen waktu antara akademik dan sosial (termasuk me-maintance komunikasi dengan mereka). beruntungnya mereka mengerti dan tidak pernah balas "tidak merespon" ketika aku bercerita mengenai nilai kuisku yang super parah, tentang kelompok praktikumku, tentang percakapan dengan manusia-manusia jenius penghuni kampusku yang ternyata punya pembicaraan yang cukup menghangatkan dibanding rumus-rumus semata, maupun tentang keluhanku akan sambal di bandung yang rasanya manis bukan pedas.
inti dari apa yang aku ketik kali ini adalah: powerbank itu penting. tapi aku nggak ada duit buat beli powerbank. sekian dan terimakasih.
ps. selamat liburan wahai mahasiswa/i itebeee!
cooming soon: Integrasi; Awal Perjalananku.
cooming soon: Integrasi; Awal Perjalananku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar