Gue masih ingat dengan jelas apa yang teman gue, Ryaas, pernah katakan ketika kami akan memasuki dunia perkuliahan di Bandung. Katanya, yang menyedihkan dari sebuah perpisahan itu bukan saat kita mengucapkan 'selamat tinggal', tetapi ketika kendaraan atau mungkin punggung mereka, orang-orang yang kita sayang, mulai menjauh dan semakin menjauh sampai akhirnya hilang. Kemudian detik itu kita tersadar kalau kita benar-benar sendiri dan mereka sudah pergi.
Waktu itu hari senin, tanggal satu Agustus 2016, ibu dan bapak gue pulang ke Lampung setelah nganterin anak tengahnya ini ke Bumi Pasundan untuk belajar jadi mining and petroleum engineer. Cielah ehm.
Gue mesenin dua gojek buat nganterin ibu dan bapak ke stasiun. Bukan, bukannya pelit nggak mau mesenin go car atau uber atau grab, tapi satu-satunya transportasi yang gue tau di Bandung waktu itu adalah gojek dan angkot. selagi menunggu dua aa' gojek itu sampe, bapak gue mulai memberikan wejangan-wejangan sebelum melepas gue sendirian di sini. "Nak yang penting belajar yang bener ya." "Bapak nggak peduli gimana kamu nanti di ITB, mau jadi kepalanya, ekornya, atau badannya, yang penting kamu udah usaha maksimal, dan satu yang lebih penting lagi, sholat tetep harus di awal waktu."
Nggak sampai lima menit, dua aa' gojek pun tiba.
"Wiranty ya?"
"Wah ini eneng nya mesen dua ya apa saya pulang aja?" ujar salah satu aa' gojek setelah melihat aa' yang lain datang.
"Eh nggak pak saya memang pesen dua. satu buat ibu saya, satu buat bapak saya."
"Oalah memang dua. soalnya sering tuh Neng kejadian kayak gitu tadi."
oke, sebenernya percakapan ini nggak penting, tapi karena dua aa' gojek tadi udah berjasa nganterin ibu dan bapak gue dengan selamat tanpa telat ke stasiun, jadinya gue masukkin. yha. gitu aja sih.
Ibu gue yang dari tadi diem kayaknya lagi
terpuruk karena bakal kehilangan partner belanja di pasar koga tiap
sabtu-minggu nya. Waktu ibu meluk dan cium gue, mata gue seketika langsung
panas dan merah, tapi gue langsung keinget sama yang gue omongin ke ibu tadi
siang, "pokoknya dira nggak mau nangis ya bu ntar sore." yang
direspon ibu dengan, "iya ibu juga nggak mau nangis. ntar di damri
aja."
dua motor itu semakin lama semakin kecil dan akhirnya hilang, meninggalkan gue sendirian dengan air mata yang ngalir nggak berhenti-berhenti.
gue masuk ke kamar dan mengambil buku yang isinya masih kosong. kemudian
gue menuliskan banyak hal disitu. janji gue selama kuliah disini, apa aja alasan kuat yang mengharuskan gue berjuang disini, dan lain-lain. But it didn’t work. Air mata gue tetep ngalir dan nggak mau berhenti.
Sampe akhirnya gue nelfon Rilo dan ngajak anak-anak damri makan yang langsung
diiyakan sama mereka.
Malam itu nggak semuanya bisa ikut. Cuma Rilo yang ternyata ngajak Ryaas,
partner Cisitunya, ada Salsa, Devan, dan juga Ricad. Bareng mereka gue mulai
bisa tertawa dan senyum lagi. Mulai dari ngomongin kosan salsa yang jauh
banget, ngomongin geng plesiran19, dan yang paling gabisa dilupain adalah muka
rilo yang takut banget banci dan Devan yang dipegang-pegang sama banci itu.
sekarang gue ngerti kenapa Tuhan pertemukan gue dan mereka disini, karena Dia pengin nujukkin ke gue kalo gue tetap bisa tersenyum, gue tetap bisa tertawa, gue tetap bisa didengar, tetap bisa dimengerti, dan yang jelas gue nggak bakal ngerasa sendiri karen Dia sudah kirimkan gue keluarga yang nggak kalah keren dengan keluarga gue di rumah. ya salah satunya mereka-mereka ini.
akhirnya
gue pun pulang ke kosan karena jam sudah menunjukkan pukul 22.00. gue masuk ke
kamar dan membuka buku yang gue tulis-tulis tadi sore. buku yang sampai
sekarang selalu memberikan kekuatan magis setiap gue ngebacanya. buku yang bisa
ngebungkam mulut gue yang hobi banget ngeluh ini. Buku yang sampai
sekarang bisa menyuntikkan semangat setiap gue ngebacanya. Buku yang bisa
menampar gue setiap gue pengen nyerah karena nilai kuis yang ancur, nggak
ngerti pelajaran karena selalu ketiduran, badan yang capek kader, dll dst dsbg.
Kalau
gue menyocokkan dengan film Habibie & Ainun yang mana Habibie mengikrarkan
janjinya untuk membangun Indonesia ketika ia sakit, atau mungkin penyair-penyari legendaris yang menghasilkan sajak luar biasa di dalam pengasingan, yang kalau dibandingkan dengan ini cerita gue sangat tidak comparable tapi bodoamat gue tetap mau ngomongin ini.
Ketika kita sedang berada di titik yang paling rendah, terpuruk, hancur, ngerasa nggak punya siapa-siapa, atau mungkin kesepian, apa yang keluar dari otak kita adalah sesuatu yang tulus dibalut dengan emosi-emosi yang terus berteriak dan memberontak ingin keluar. Sesuatu
yang terlihat buruk saat ini justru yang menjadikan kita kuat di kemudian hari.
Teruntuk kalian yang saat ini sedang menghadapi masa-masa sulit dalam hidup, pesanku satu, jangan menyerah.
Selamat beraktivitas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar