Pertanyaan 2: Apa cita-citamu? Apa yang ingin kamu lakukan untuk menghasilkan uang?
Impian dan cita-cita selalu menjadi topik
yang sentimental bagiku. Bagaimana tidak, sejak SD sampai kuliah, cita-cita
selalu menjadi bahan bakar semangatku. Sesuatu yang membuatku terjaga sampai
tengah malam untuk belajar atau pun membangunkanku saat subuh untuk
bersiap-siap menuntut ilmu. Sejak saat itu pula, cita-citaku berubah
berkali-kali. Mulai dari ingin jadi presiden saat SD, ingin jadi dokter saat SMP,
lalu ingin jadi Menteri Pendidikan saat SMA kelas satu dan menjadi Menteri ESDM
saat SMA kelas tiga. Kemudian pada saat kuliah, aku mulai menjadi seseorang
yang realistis dan lebih spesifik, aku berkata bahwa aku ingin menjadi
reservoir engineer, sesuai dengan jurusan yang aku ambil saat itu: S1 Teknik
Pemrinyakan ITB.
Namun rasanya waktu sedang tidak berpihak
kepadaku, di saat aku masuk jurusan setelah melewat masa TPB (Tahap Persiapan
Bersama) pada tahun 2017, harga minyak sedang hancur. Banyak sekali kakak
tingkat di jurusanku sendiri yang mengatakan,
“Di
perminyakan nyari kerjanya susah loh.”
“Di sini pelajarannya susah, nyari kerjanya lebih susah lagi.”
Coba tebak bagaimana perasaanku? Perasaan anak
muda penuh api yang bercita-cita menjadi insinyur perminyakan, yang baru saja
masuk jurusan, namun impiannya langsung dipertanyakan oleh senior yang juga
berasal dari sektor yang sama? Benar sekali, aku bingung dan kesal. Tapi satu orang, Kak Ravel namanya, membantuku melihat dari sudut
pandang lain, katanya,
“Burung yang hebat tidak pernah takut jika
ranting yang dihinggapinya patah, karena kepercayaannya bukan pada cabang
pohon, tetapi pada sayapnya sendiri.”
Sejak saat
itu aku berjanji, bagaimanapun takdir akan membawaku, aku harus belajar terbang
di jurusan ini. Satu kalimat di atas juga yang membuatku kembali percaya bahwa
kebaikan itu menular. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, tidak
akan mematahkan impian para juniorku nanti ketika mereka memilih untuk masuk
jurusan ini.
Ternyata
memang benar apa yang kata orang terdahulu katakan, kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain bicarakan, namun kita
sepenuhnya memiliki kontrol atas respon diri kita. Sejak masuk jurusan, aku
bukan lagi wiran yang semangat dan berapi-api karena cita-cita besar jangka
panjang. Alasanku berjuang bukan lagi melulu soal "hal besar". Aku menjadi seseorang yang semangat belajar dan berorganisasi karena
aku ingin melakukan yang terbaik pada hari itu, terlepas dari apakah aku akan
bekerja di sektor oil and gas atau tidak nantinya.
Tiga tahun berlalu, aku melewati masa
perkuliahan di jurusan dengan sangat menyenangkan. Memahami pelajaran, mengikuti
lomba, berorganisasi, berteman, dan masih banyak lagi. Bisa kukatakan tiga
tahun itu merupakan fase hidup terbaik dalam hidupku.
Namun sayangya, lagi-lagi dewi fortuna tidak berpihak
kepadaku. Aku lulus pada tahun 2020, di saat dunia sedang dihebohkan dengan virus
covid-19. Banyak sekali pekerja yang kehilangan pekerjaan, perusahaan-perusahaan
bangkrut, dan industri oil and gas melakukan ‘zero-recruitment’, bahkan harga minyak pun sempat menyentuh angka minus, pertama kali dalam sejarah. Meskipun aku
sudah mempersiapkan diriku sejak awal untuk kemungkinan terburuk seperti ini, tetap
saja rasanya dunia seperti tidak adil. Aku merasa seperti yang kulakukan selama kuliah menjadi sia-sia. IPK, sertifikat lomba, dan sertifikat organisasi menjadi tidak ada artinya.
Namun pelajaran terbesar pada 2020 memang merelakan. Merelakan bahwa kita tidak bisa bertemu dengan orang-orang tersayang, merelakan bahwa tidak ada prosesi wisuda, merelakan bahwa kita bisa kapan saja mati dan ditinggal mati karena virus, serta merelakan bahwa cita-citaku sebagai reservoir engineer harus aku kubur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar